Thursday, January 15, 2009

cerpen

laki-laki yang mencari kitab suci



Ketika aku duduk mengetik artikel yang deadlineya jam 00 , mendadak listrik padam. Sekeliling gelap, tak teraba. Senyap menyergap. Desau suara komputer menggumam makin pelan. Udara diam, hanya pikiran dan jari-jariku yang masih mengetik asal. Dalam keheningan, segala sesuatunya menjadi lebih jernih. Pendengaranku menajam. Aku bisa mendengar langkah-langkah cicak di dinding. Aku juga mendengar suara kepak sayap nyamuk yang paling lembut. Dan yang paling dahsyat, aku bisa mendengar perasaanku berbicara.

Ia mengajak keluar. Aku melangkah ke halaman. Kutatap langit. Bulan purnama bulat penuh. Langit berwarna biru terang. Tak ada gumpalan awan setitik pun. Dulu, saat seperti ini aku bermain galasin dengan kawan-kawan. Tapi malam ini sungguh berbeda. Sunyi, tak ada suara-suara.

Belum selesai heranku, datang sinar terang menyilaukan dari atas pohon palem. Sekeliling meputih. Bunga-bunga di sepanjang pagar lenyap. Juga pohon palem di hadapankku. Di tengah-tengah sinar itu muncul sesosok tubuh mirip diriku. Bentuk tubuh, tinggi dan wajahnya sangat mirip. Aku kucek-kucek mataku, ternyata tak hanya mirip. Dia memang persis sama dengan diriku.

"Aku adalah kau", dia berkata pelan.

"Bukan, hai makhluk putih", bantahku keras.

"Sejak kau dalam rahim, aku selalu menjagamu. Kamu pasti melupakanku. Juga janji yang pernah kau ucapkan waktu itu. Aku datang untuk mengingatkanmu. Saatnya kini kau mencari kitab suci agar kau bisa menyelesaikan tugasmu disini."

Dia mengajakku berjalan melewati sebuah padang luas. Sekejap kami sudberada di tepi laut. Aku merasakan kedamaian yang belum pernah kurasakan sebelumnya.

"Lihatlah laut itu. Ombaknya tak pernah berhenti. Kau tahu kenapa datang selalu sejajar dengan garis pantai?".

Sebelum aku menjawab pertanyaan itu, dia melanjutkan.

"Itulah hidup. Banyak misteri yang belum terpecahkan. Hanya para pencari yang akan menemukan jawabannya. Dan belum tentu semua pencari menemukannya.

Malam itu aku tertidur di bawah pohon. Sebelum orang-orang menemukanku, aku bergegas masuk kamar. Lenganku bentol-bentol merah bekas gigitan nyamuk. Aku menyandar di kursi, belum yakin peristiwa semalam. Benarkah peristiwa itu nyata?. Aku ingin mengabari teman-teman kost, tapi tak berani. Aku takut mereka akan mensahkan aku sebagai orang gila beneran.

Aku menyimpan rapat-rapat rahasia itu.

Pagi itu aku membongkar rak buku. Aku temukan buku yang selama ini diyakini banyak orang sebagai kitab suci, termasuk aku. Setiap waktu aku baca buku itu berulang-ulang, tapi tetap tak paham maknanya. Kitab mana lagi yang dimaksud makhluk putih itu? Apakah kitab ini palsu? Kenapa orang-orang tak pernah mempermasalahkannya?

Peristiwa itu benar-benar mengkampak akal sehatku.

Debu-debu meruap dari buku-buku lama yang tak terawat. Aku tersadar, selama ini aku terlalu asyik dengan pekerjaanku. Buku-buku itu serasa baru aku beli kemarin. Bahkan ada beberapa yang masih tersegel. Aku belum sempat membacanya.

Perjalananku ternyata telah lama, tapi rupanya aku selama ini hanya berputar-putar di satu tempat. Tak ada perubahan berlebihan atas diriku. Masih sebagai reporter di sebuah media dan masih sebagai anak kost.

Aku menghitung-hitung apa yang telah kudapatkan selama kerja di perusahaanku tempat bekerja . Aku mengambil kertas dan pensil, mencatat apa-apa yang aku dapatkan. Sebuah komputer, sebuah buku tabungan yang tak seberapa saldonya. Ada selembar polis asuransi.

"Aku tak punya benda berharga apa pun", aku tersenyum sendiri. Dalam hati aku mentertawakan hidupku yang mirip komidi putar yang sedang mogok. Tiap hari dikejar-kejar deadline. Nyaris seluruh waktuku habis untuk pekerjaan. Beruntung, sampai saat ini tak ada masalah yang menyulitkan. Sampai peristiwa malam itu terjadi.

Apes! Hidup yang selalu tak bisa diduga. Malam itu aku tak bisa menyerahkan artikel sampai waktu deadline habis.

Aku bergegas ke kantor. Menumpang angkot yang melewati rumah-rumah mewah di kawasan elit. Rumah-rumah itu dingin, tak berpenghuni. Pemiliknya lebih suka berada di luar. Merayakan acara keluarga, ngobrol dan makan malam di tempat lain. Bahkan pada saat tertentu mereka lebih suka tidur juga di tempat lain.

Sesampai di kantor, langsung aku mendapatkan surat penugasan baru. Aku duduk, enggan membukanya. Aku nyaris shock, aku dipindah ke divisi lain yang tak ada hubungannya dengan pekerjaanku sebagai jurnalis. Darah di jantungku menggelegak. Aku merasa dilecehkan dan dipermalukan. Aku langsung menghadap melabrak atasanku.

"Aku kan wartawan, masak disuruh jadi operator, tangkisku.

"Memang dulu di SK kan tak disebutkan secara detail jobs description nya?, jawab atasannya enteng.

" Kalau begitu, bisa saja dong suatu saat nanti aku disuruh bikin kopi.

Dadaku serasa terbentuk tembok besar china. Nafasku memburu satu-satu. Rupanya setan-setan melihat keadaanku. Setan-setan seperti mendapat komando langsung melesat, nyungsep ke urat-urat darah yang mengalir ke seluruh tubuhku. Setan-setan lalu mengobarkan amarah dan niat jahatku. Otakku menyuruhku membuat sebuah rencana pembalasan. Dendam menggumpal di kepalaku.

Sejak saat itu aku pergi meninggalkan pekerjaan, selamanya. Tak akan pernah kembali . Kini aku punya waktu bebas, lepas dari jaring-jaring terkutuk itu. Aku makin bersemangat dalam pencarian. Di negeri ini begitu banyak bertebaran kitab suci. Kitab itu pasti tersimpan di tempat yang tak mungkin ada kejahatan. Tempat semua orang merasa aman dan nyaman.

Aku mulai mengubek-ubek perpustakaan dari kota yang satu ke kota lain. Aku berlarian dari satu orang ke orang lain menanyakannya. Searching di internet dan menelepon semua kolega. Tapi hasilnya kosong. Mereka semua menggelengkan kepala. Aku tak menyerah. Aku bertanya ke lebih banyak orang lagi. Hasilnya sama, mereka tidak tahu buku yang aku maksud.

Hari ini memang bukan keberuntunganku. Dalam perjalanan pulang, jalanan macet total. Orang-orang bergerombol dengan mata was-was di pinggir-pinggir jalan. Jalan itu sengaja di blokir dengan barikade polisi yang membawa tameng. Sedang terjadi tawuran antar warga!. Asap membumbung tinggi, membentuk gumpalan-gumpalan pekat di udara. Ada rumah yang dibakar. Rumah ibadah yang dianggap mengajarkan aliran sesat.

Semua kendaraan segera menghindar dengan berbalik arah. Aku menyingkir dari kerumunan. Menyaksikan orang-orang yang digelandang polisi ke atas truk. Petugas kesehatan sibuk mengurus orang-orang yang kepalanya bocor terkena lemparan batu. Beberapa orang pingsan digotong ke dalam ambulance.

Nyaliku menciut melihat darah. Aku lelah. Leherku terasa panas dicekik. Aku menuju ke sebuah warung es di simpang kiri jalan. Di bawah pohon asam yang rindang, udara menyapu wajah-wajah orang yang sedang menikmati es buah. Aku bergabung dengan mereka. Tapi mereka acuh, atau terlalu asyik membicarakan tawuran yang masih berlangsung.

"Orang macam apa yang senang melihat saudaranya terluka?, kata bapak yang duduk paling ujung.

"Orang melihat kebenaran dari versinya sendiri-sendiri", jawab yang lain.

"Kebenaran. Memang kebenaran itu ada banyak banget?

"Bukan begitu, " jawabnya pendek.

"Terus?"

"Kitab suciku ada dua. Kitab lama dan Kitab Baru."

"Mm... Apakah mungkin nanti akan ada Kitab yang lebih baru lagi?" Tanya bapak yang sejak tadi diam saja.

"Kemungkinan tidak ada, kalau penambahan dimungkinkan ada. Tapi harus melalui sebuah konferensi tertentu. Tapi itu tak mudah." Laki-laki yang terbungkus kain hitam itu memberikan penjelasan.

Di sampingnya, seorang berkepala plontos yang matanya teduh membuka ikatan lontar-lontar dari balik bajunya.

"Kita harus bersikap dewasa dan mulai melepaskan kepunyaan yang kita miliki.

"Tak ada yang berharga yang aku punyai."

"Ada. Ego, jawabnya pendek."

Kini giliran orang yang suaranya paling lantang. Setengah berteriak dia menjelaskan isi kitab yang dimilikinya.

Semua mengklaim kitabnyalah yang tersempurna.

Aku meninggalkan mereka bertiga dan menunggu angkot pulang. Kepalaku makin penuh pertanyaan-pertanyaan yang belum kutemukan jawabnya.

Aku ingat makhluk putih malam purnama itu. Aku ingin menemui dia lagi. Saya masih belum lupa, makhluk putih itu datang ketika mati lampu. Apakah aku harus menuggu mati lampu lagi? Malam ini tempat kostku tak mendapat giliran pemadaman listrik. baru minggu depan. Seminggu terlalu lama, aku tak sabar menunggu.

Ketika orang-orang terlelap aku berdoa. Aku sangat ingin malam ini bisa bertemu makhluk putih itu. Dan benar, keinginanku menjadi nyata.

"Hai makhluk putih, kemana aku harus menemukan kitab suci itu?"

"Tak perlu kau pergi selangkah pun!"

"Bagaimana dengan kitab-kitab milik orang-orang itu?

"Tak perlu kau memakai mata untuk membacanya, tak perlu telinga untuk mendengarnya. Kitab itu ada di dalam dirimu. Kitab-kitab mereka hanyalah pelita untuk menerangi kitab yang ada dalam dirinya".

"Ah, kenapa kau buat aku bingung?"

"Sabar saja, kau akan menemukan. Dalam hening, segala sesuatunya menjadi lebih jernih. Saat itu, perasaanmu akan berbicara kepadamu. Kau bisa berdialog dengannya"

Aku tersadar ketika kepalaku terantuk pada sebuah sandaran tempat tidur. Ingat artikel yang kukirimkan kemarin ditolak lagi. Juga pekerjaan yang dijanjikan temanku belum ada kabarnya. Pagi itu aku ingin kemana-mana, tak ingin apa-apa.

cerpen winarta

No comments: